Jumat, 15 Oktober 2010

Kata Mutiara Yang Bermakna Dalam Dakwah

By. Adhy Margono
Allah berfirman; “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” (QS. Al ‘Ankabut [29] : 69).

Hamka: “Apabila sesama manusia telah mementingkan siapa yang kuat, itulah yang naik dan siapa yang lemah itulah yang jatuh, maka yang berlaku bukan lagi hukum kemanusiaan, tetapi hukum rimba. (Pandangan Hidup Muslim, hal. 63)

Hamka: “Maka tegaklah dengan teguh, istiqamalhah, laksana batu karang diujung pulau, menerima hempasan segala ombak dan gelombang yang menggulung; setiap ombak dan gelombang datang, setiap itupula ia membawa zat yang akan nemambah kokoh dirinya.” (Pandangan Hidup Muslim, hal. 2)

Hamka: “Dan tegaklah dengan teguh, istiqamahlah, laksana sebatang pohon beringin di tengah padang; menerima segala angin sepoi dan angin badai. Kadang-kadang berderik-derik, laksana akan terbang-runtuh, terhoyong ke kiri dan ke kanan. Demi angin berhenti dan alam tenang, dia tegak pula kembali dan uratnya bertambah terhunjam kepetala bumi.” (Pandangan Hidup Muslim, hal. 3)

Hamka: “Hidup bukanlah bilangan tahun dan nilainya bukanlah berapa emas tertumpuk. Hidup adalah pendirian dan kepercayaan. Konsekwensi dari pendirian dan kepercayaan ialah perjuangan. Berhenti berpendirian, lalu berhenti berjuang, niscaya berhentilah hidup. Walau badan masih di dunia, walau nafas masih turun naik.” (Pandangan Hidup Muslim, hal. 170)

Suafruddin Prawiranegara: “Bukan komunisme yang akan menang, bukan juga kapitalisme, tetapi dalam pergolakan paham dan ideologi dimasa sekarang ini, akhirnya Islamlah yang akan tampil ke mukan dan bertinfak sebagai jurup pisah, etapi juga sebagai otoritas rohani yang tertinggi, yang akan memimpin umat manusia ke arah kebahagiaan yang kekal.” (Ajip Rosidi, Syafruddin Prawira Negara Lebih Takut kepada Allah, hal. 134)

M. Natsir: ”Menentang aturan Ilahi adalah sumber dari kegagalan dan keruntuhan. Iniilah sunatullah yang berlaku bagi umat terdahulu, tetap berlaku bagi umat sekarang, dan bagi umat-umat yang akan datang seterusnya.”

M. Natsir: ”Sesungguhnyalah, sifat tabah dan teguh hati itu adalah sebagian dari sepenting-penting dan seluhur-luhur sifat yang tak dapat harus dimiliki seprang pembawa da’wah.” (Fiqhud Da’wah, hal. 260)

M. Natsir; “Ummat Islam adalah pendukung amanah, untuk meneruskan Risalah dengan da’wah; baik sebagai umat kepada umat-umat yang lain, ataupun selaku perseorangan ditempat manapun mereka berada, menurut kemampuan masing-masing.”

M. Natsir: “Jangan berdiri di pinggir jalan. Masukkan diri pribadi ke dalam golongan mujahidin yang sedang menuju bergerak berjalan itu. Satu dan lainnya menurut kemampuan kita masing-masing. Nanti saudara akan terlepas dari siksaan batin dan siksaan lahir.” (M. Natsir, Capita Selecta III, hal. 153)

”Berdirilah teguh selama hidupmu menegakkan pendirianmu dalam perjuangan, sesungguhnya hayat itu hanya berfaedah bila diisi dengan Aqidah pendirian yang kokoh dan jihad perjuangan.” (Capita Selecta III, hal. 156)

Nasehat Imam As Syafi’I kepada muridnya Imam Al Muzanny: "Bertakwalah kepada Allah, permisalkanlah akhirat di dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu dan jangan lupa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah kepada Allah 'Azza wa Jalla, jauhilah apa-apa yang Dia haramkan, laksanakanlah segala yang Dia wajibkan, dan hendaklah engkau bersama Allah dimanapun engkau berada. Jangan sekali-kali engkau menganggap kecil nikmat Allah terhadapmu -walaupun nikmat itu sedikit- dan balaslah dengan bersyukur. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai dzikir dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang menzholimimu, sambunglah orang yang memutus silaturrahmi kepadamu, berbuat baiklah kepada siapa yang berbuat jelek kepadamu, bersabarlah terhadap segala musibah, dan berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketakwaan."

Hamka: ”Dengan iman hidup menjadi memiliki maksud dan tujuan, sehingga timbullah cita-cita untuk menggapainya. Iman menimbulkan cita-cita untuk memperoleh ganjaran dan pahala di atas pekerjaan yang dikerjakan. Oleh karenanya, bila seseorang tidak beriman maka ia membawa kepada tegaknya hidup yang tidak bersendi, membawa keberanian yang merusak dan sewenang-wenang kepada sesama manusia.

Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah; “Tauhid adalah yang pertamakali diucapkan seseorang ketika pertama kali masuk ke dalam Islam dan yang terakhir kali sesaat sebelum meninggalkan dunia... tauhid adalah awal segala perkara dan akhir dari segalanya.”

Al Imam Malik bin Anas menasehati anaknya; “Wahai anakku, duduklah dengan ulama dan kedua lututmu kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah akan menghidupkan hati dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan tanah yang mati dengan siraman hujan.”

Umar ibn Khatthab ra; "Kami adalah suatu kaum yang telah dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka bila kami mencari kemuliaan dengan selain cara-cara Islam maka Allah akan menghinakan kami" (Al Hakim, Al Mustadrak 1/62).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah: " Berapa banyak orang yang tadinya kuat dan menguasai namun hancur dalam waktu sekejap. Berapa banyak orang yang mukim, namun sebentar lagi harus pergi. Oleh karena itu, persiapkanlah perbekalan dan kendaraan kalian dengan sebaik-baiknya untuk perjalanan pulang. Perbanyaklah bekal kalian, dan sesungguhnya sebaik-baik perbekalan adalah takwa. (Hilyah Auliya, 5/316. Salah satu khutbah Umar kepada rakyatnya)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah: “Sesungguhnya dalam diri kalian terdapat tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan meluruskan mereka yang zalim. Tugas ini akan selalau diamanatkan orang-orang terdahulu kepada kalian sebagai generasi penerusnya.” (Ibnul Jauzi, Sirah Umar bin Abdul Aziz, hal. 251. Khutbah terakhir Umar bin Abdul Aziz sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Fadhl At Taimi)


Agus Salim; “Manusia tidak mampu menentukanperbedaan antara kebajikan dan kebatilan berdasarkan akal budi saja. Karena pertimbangan manusia tidak dpat dilepaskan adri nafsunya, yang terdapat pada setiap manusia, dan kebutuhannya yang berlain-lainan bagi setiap golongan manusia.” (100 Tahun Haji Agus Salim, hal. 286)