Jumat, 11 Juni 2010

ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
Oleh : Ady Margono

I. PENDAHULUAN
Pertama, berangkat dari beragam problem domestik pasca reformasi di Indonesia tahun 1998, merupkan angin segar kembalinya momentum penegakan Hak Asasi Manusia. Ini dapat diamati melalui proses demokrasi yang berjalan di Indonesia. Sepintas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilu yang sudah dua kali digelar di Indonesia bahkan pada April 2009 mendatang adalah seasen ke-tiga dalam pesta demokrasi tersebut. Demokrasi yang telah berjalan di Indonesia menunjukkan keberhasilan secara jurdil. Keberhasilan demokrasi yang telah dan terus berproses ini jauh melampaui negara-negara maju, bahkan Amerika.
Namun apa yang terjadi kemudian. Tuntutan reformasi ternyata dianggap belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Seiring semakin maju, dan bertambahnya pengetahuan masyarakat. Fakta ini kemudian melahirkan tuntutan terjaminnya Hak Asasi Manusia. Tuntutan ini bergerak dan terus maju, seolah-olah semakin menunjukkan eksisitensinya dan harus segera ditanggapi. Salah satunya Ialah masalah wanita.
Masalah wanita membutuhkan penanganan yang cukup spesifik dan cermat. Karena tuntutan kesetaraan jender dan emansipasi telah menjadi wacana dan isu global yang bukan saja terbatas kepada isu pembebasan kaum wanita akan tetapi menurut mereka, bagaimana keterlibatan laki-laki sedapat mungkin disosialisasikan menjadi bagian dari jender laki-laki, juga penting untuk dibahas.
Kalau diperhatikan sepintas, nampaknya wacana ini sangat berlebihan apabila kita amati pernyataan DR. Fu’ad Amsyari yang menggambarkan secara ringkas masalah yang kita hadapi ini dalam bukunya (Mainstreaming Gender in Peacebuilding: A framework For Action ( Internatational Alert, 2005)), karena penomena yang ada sekarang nyata-nyata telah menjadi masalah yang sangat memprihatinkan. DR. Fu’ad Amsyari mengatakan;
” Women’s problem in the develovment show increasing inclination. The issues about the equality in gender, not only political congres in parliament, but it has been more in to specific kategory in household. The inception of the Violence Inside the household’s rights become post demand of the emancipation on woman which is connected to the secure on Human Rights in the narrow scale”-- “Perseolan perempuan dalam perkembangannya menunjukkan kecenderungan meningkat. Isu tentang kesetaraan jender, bukan saja dalam keterwakilan politik perempuan diparlemen, namun lebih jauh lagi telah masuk kedalam kategori lebih spesifik dirumah tangga. Lahirnya undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT)misalnya telah melahirkan tuntutan kesetaraan jender dan emansipasi terhadap perempuan kaitannya dengan jaminan atas HAM dalam skala yang lebih sempit(kelurga)”.
Kedua, Beralihnya pandangan hidup (wordlview) umat islam secara global, dan serentak, tanpa berfikir selektif seolah-olah mengakui keberhasilan dunia barat yang telah menciptakan budaya dan gaya hidup serba gelamor. Situasi ini kemudian menjadikan umat islam terjerumus kepada paham Westernisme (paham kebarat-baratan) yang menjadikan sebagian umat islam pada khususnya, yang belum matang mandalami hakikat agama dan tauhid terjerumus semakin dalam kelembah yang sangat menyakitkan yaitu lembah kebodohan. Kebodohan terhadap ‘rumahnya’ sendiri (ad-Din al-Islâm).
Fakta ini memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi para pemuja pluralisme agama sehingga mereka dengan bebasnya ‘menter-ter’ umat ini menggunakan dalil perbandingan, keharmonisan, dan persamaan, padahal secara terang-terangan mereka telah menanamkan kebencian terselubung terhadap syari’at. Mereka lakukan perbuatan tersebut sehingga terlepaslah tali agama (as-Shibghoh al-Islamiyah) yang pada dasarnya secara fitroh insaniyah telah menghujam didalam hati setiap individu. Cukup menarik apa yang dipaparkan Dr. Malik Anis Thoha, terhadap para pengusung paham pluralisme agama, didalam bukunya ‘Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis’ (Persepektif, 2005),” Kebencian dan antipati itu sengaja dibangun tidak hanya dalam benak non-muslim saja, tapi juga dalam hati sebagian Muslim yang lemah imannya. Dengan maksud mempertahankan konsep idiologi yang mereka jalankan dan globlisasi secara paksa. Itulah idiologi modern yang mereka anggap universal, seperti demokasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas.
Ketiga, Kembali bercermin pada sejarah bangsa-bangsa. Sejarah telah banyak mencatat bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang penuh dengan sekelumit cerita, kemudian di dalam al-Qur’an Allah swt. mengisyaratkan agar menjadi ibroh (pelajaran) buat umat setelahnya (umat Nabi Muhammad saw). Bagaimana bangsa ‘tua’ yang menganut agama ‘semetik’ ini adalah bangsa ‘pembangkang’, dan tamak (al-Baqarah: 67-70, dan 96). al-Qur’an menyebutnya sebagai bangsa monyet (al-Baqarah,2:65)…bangsa yang senang menjerumuskan diri mereka dalam kubangan kesusahan disebabkan ulah dari diri mereka sendiri. Perkara yang sangat jelas kemudian dibuat kabur seolah-olah berusaha mempersulit diri mereka sendiri. Perkara ini kemudian Allah swt. abadikan didalam al-Qur’an dibeberapa ayat dalam surat Al-Baqarah. Misalnya kaum Nabi Musa as, yang diperintahkan Allah untuk menyembelih seekor sapi……(Al-Baqarah 67-70). Semoga menjadi ibroh buat kita. Amin…
Keempat, Sebagian besar umat islam telah kebablasan dalam memahami makna kebebasan. Lebih-lebih setelah hadirnya reformasi yang diterjemahkan sebagai gerbang semua perubahan. Menuntut kesetaraan atas nama jender, mengusung isu HAM melebihi ke outentikan syari’at, rumah tangga yang dianggap patriark, dan menggugat syari’at yang dianggap mengusung faham patriarki. Pada poin pertama dan yang kedua inilah yang menjadi pokok pembahasan yang mengharuskan kita mengupas secara tuntas setiap bagian dalam makalah ini.

II. PEMBAHASAN

Pengertian Jender
Secara etimologi Jender memiliki arti tunggal yakni jenis kelamin. Adapula yang mendefinisikan jender sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Secara terminologi Jender ialah sebuah istilah yang memiliki arti yang berbeda dari jenis kelamin. Jender mengalami ‘migrasi’ makna yang sebenarnya disebabkan oleh istilah yang semakin sering terpakai dalam penyebutannya didalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan persfektif konflik, Donna Pankhurst dan Sanam Aderline, mencoba memberikan analisanya tentang terminologi Jender. Ia menyebut Jender adalah sebatas hubungan sosial;” Jender menitik beratkan kepada peran sosial dan interaksi antara laki-laki dan perempuan, bukan pada perbedaan biologis diantara mereka. Hubungan gender adalah hubungan sosial, yang berkaitan dengan cara laki-laki dan perempuan berinteraksi , misalnya dalam menentukan cara untuk memperoleh sumber daya , kekuasaan, dan keterlibatan dalam kegiatan budaya dan agama. Gender juga menjelaskan mengenai arti sosial dari laki-laki dan perempuan serta apa yang dianggap normal dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang berbeda-beda.
Hilary M. Lipo ( Sex and Gender; An Introduction ), mendefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan atau cultural expectations for woman and man.
H.T. wilson ( Sex And Gender ), mendefinisikan sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif kemudian menjadikan konsekuensi yakni laki-laki dan perempuan.
Sedangkan dalam buku Pengantar Teknik Analisa Jender, buku ke-III ( tahun 1992, hal. 3 ) yang diterbitkan oleh Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, menulis bahwa;” Interpretasi mental dan kultur terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan wanita, biasanya kata tersebut digunakn untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.

Isu-Isu Yang Dipermasalahkan
Diantara isu yang dipermasalahkan ialah; menuntut kesetaraan jender, emansipasi (mencakup perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, terbatasnya ruang gerak berorganisasi), penerapan syari’at yang dianggap mengekang ‘ruang gerak’ bil khusus kaum hawa, dan formalisasi hukum syari’at tersebut (misalnya poligami yang hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki saja, pembagian waris, dan Persaksian).
Hal ini tentunya menjadi suatu kajian yang cukup hangat dan membutuhkn perhatian mendalam bagi para ulama, dan pemerhati ‘kebebasan’ karena umat secara global telah terjangkit cukup parah didalam meng-interpretasikan kebebasan, sehingga permasalahan yang tidak mendapat cukup solusi akan berdampak kepada kesimpulan yang keliru.
NU memiliki Ormas kewanitaan namanya MUSLIMAT dan FATAYAT. MUHAMMADIYAH memiliki Ormas namanya AISYIAH dan NASYIATUL AISYIAH (NA) merupakan organisasi sayap kewanitaannya MUHAMMADIYAH. PERSIS memiliki Ormas namanya PERSISTRI. SI (Syrika Islam) memiliki Ormas namanya WANITA SYARIKAT ISLAM. Dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) memiliki Muslimat Dewan Da’wah.pen Kalau dikalkulasi jumlah organisasi kewanitaan keseluruhannya diperkirakan berjumlah lebih dari seratusan. Sedangkan yang tergabung dalam KOWANI (kongres wanita indonesia)saja sebanyak 75 orgnisasi betaraf Nasionl dan dibawah BMOINI (Badan Musyawarah Organisasi Wanita Indonesia) sebanyak 34 organisasi kewanitaan islam baik berpola Ormas maupun LSM.

Kesetaraan Jender
Masalah kaum hawa sebagaimana diungkapkan DR. Fu’ad Amsyari, cenderung mengalami perkembangan dan menunjukkan kecenderungan meningkat. Salah satunya ialah tentang isu kesetaraan jender dan emansipasi wanita yang kini telah memasuki kategori yang lebih spesifik dirumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya Undang-Undangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang merupakan tonggak tuntutan emansipasi terhadap kaum wanita, kemudian berkaitan dengan jaminan atas HAM dalam skala yang lebih sempit yakni memasuki ruang lingkup keluarga dan rumah tangga. Misalnya penolakan terhadap eksistensi dan penerapan hukum poligami yang telah diatur didalam syari’at islam.
Poligami dalam islam merupakan syari’at (QS. An-Nisa: 3). Kemudian sering menjadi wacana hangat yang bersifat kekinian yang sengaja dibenturkan eksistensinya oleh para pengusung paham skuler, dan liberal.
Merupakan fakta historis kalau kita mengkaji umat-umat terdahulu telah melakukan apa yang disebut poligami. Poligami (ta’addud) , telah dikenal masyarakat pra- islam.
Bangsa Ibrani sejak zaman dahulu melakukan poligami sebagaimana didalam Taurat tidak ada pembatasan jumlah wanita yang boleh dinikahi, kemudian batasan tersebut dapat ditemukan di kitab Talmud.
Nabi Sulaiman as, telah menikahi seratus orang wanita. Bangsa Rabbaniyyun membatasi jumlah istri empat wanita saja dengan alasan bahwa Nabi Ya’qub beristrikan empat orang wanita. Adapun orang-orang Yahudi masih melakukan poligami dinegeri Eropa hingga abad pertengahan hingga saat ini.
Poligami yang dilakukan oleh raja DiodorAsh-Shaqly pada masa Mesir kuno. Pada bangsa Persia. Dan raja Saila di Romawi bukan saja berpoligami tetapi mereka melakukan hubungan biologis dengan budak-budak perempuan. Raja Saila (Romawi) mengawini empat oang wanita, begitupula kaisar yang kemudian diikuti oleh putranya Bumbay. Sekitar pertengahan abad ke empat Masehi orang-orang Nasrani seperti raja Qastantin dan raja Falafius Valentin yang kemudian membuat undang-undang yang mengesahkan poligami. Pembolehan undang-undang ini belangsung hingga masa Gustine yang tidak membolehkan poligami, hasilnya adalah pengingkaran dari masyarakatnya yang masih melakukan praktek poligami.
Islam kemudian hadir ditengah-tengah bani Tsaqif yang sebagian telah memeluk islam seperti Ghailan bin Salamah, Sufyan bin Abdullah, dan Mas’ud bin Amir. Kemudian mereka menceraikan istri-istri mereka yang semula berjumlah sepuluh dan menyisakan empat orang istri saja. Begitupula perintah Rasulullah saw, kepada Qais bin Harits yang beristrikan delapan orang, dan Naufal bin Mu’awiyyah yang memiliki lima oang istri. Rasul kemudian memerintahkan memilih empat orang saja.
Poligami (ta’addud) adalah syari’at yang sering kali menjadi sasaran empuk bagi kaum orientalis untuk menyerang islam. Sehingga kaburnya pemahaman umat islam tentang syari’at merupakan tujuan utamanya. Sejalan dengan itu maka kita akan menemukan bahwa maksud dibalik serangan kaum orientalis dalam menyerang syari’at adalah sejalan dengan berkembangnya gerakan Barat (Amerika utara dan Eropa) dalam mengusung budaya westernisasi , membesar-besarkan dan mengangkat gaungnya setinggi langit. Maka isu ini berkembang seiring sejalan sebagai wujud menanamkan islamofobia tadi yang banyak digandrungi ‘cendikia muda’ yang mengusung paham pluralisme yang alih-alih ingin menjadi refree (pembebas) yang baik dan netral dilapangan namun pada hakikatnya mereka telah menciptakan ‘agama baru’ yang bernama Pluralisme Agama, menanamkan embel-embel ekstrem/ekstremis, militan, teroris, fundamentalis kepada kaum muslimin yang memegang teguh syari’at.
Padahal kalau dikaji secara lebih mendalam hikmah poligami (ta’addud) berdasarkan ketentuan syari’at ini, islam telah mengatur secara sempurna, tertata, penuh etika dan santun terhadap perkembangan atau perkembangbiakan umat manusia dengan tetap mengedepankan nilai-nilai moral dan hak setiap individu sebagaimana firman-Nya;

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa: 3).
Dalam ayat berikutnya Allah swt menjelaskan secara lebih detail, sesungguhnya poligami tidak semata-mata hanya untuk memuaskan kebutuhan biologis kaum adam semata. Tetapi islam menjaga martabat dan populasi wanita sebagai makhluk yang mulia, dijaga hak-haknya, kehormatan, dan perasaannya. Firman Allah swt;

“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung….”(An-Nisa: 129)
Rasulullah saw, mengancam dengan ancaman yang tegas terhadap suami yang tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya;
“Barangsiapa mempunyai dua istri, kemudian lebih mencintai kepada salah satu diantara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat sedangkn tubuhnya miring sebelah” (HR. Khamsah).

E m a n s i p a s i
‘Universal declaration of human rigth’ yang merupkan senjata pamungkas bagi para ‘penggugat’ syari’at digunakan kembali sebagai alat propaganda sekaligus menebarkan isu bahwa syari’at sudah tidak logis lagi digunakan untuk mengatasi masalah yang bersifat kekinian, kolot, dan tidak subjektif. Manuver pertama adalah isu tentang kebebasan (human raigth). Alasannya adalah bahwa wanita selalu dijadikan nomor dua dengan hanya melegitimasikan laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dalam perceraian mereka menganggap tidak fair karena wanita harus menunggu dalam masa iddah sehingga dapat menikah lagi sedangkan laki-laki boleh langsung menikah. Maksud dari pernyataan ini ialah bahwasanya kebebasan tanpa batas dengan tanpa mengikat antara laki-laki dan wanita berdasarkan jenis kelamin (gender). Baik dari cara berpakaian (mode), idiologi (kebebasan beragama dan pelaksanaannya), dan hubungan sosial.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Domestic Violence)
Dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh seorang tenaga pengajar bidang Psikologi Fakultas Agama UIKA (universitas Ibnu Khaldun) Jakarta, Kholifah MA. Ia menjelaskan bahwa angka kekerasan dalam rumah tangga masih banyak terjadi. Kholifah mengawali analisanya berdasarkan banyaknya kasus perceraian dan banyaknya gugatan dari kaum perempuan, dan pelakunya adalah suami.
Undang-undang penghapus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Nomor: 23 tahun 2004. Merupakan implementsi dari serangkaian kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya di Indonesia. Karena siklus (perputaran) KDRT ini sudah menjadi siklus alamiah (nampak wajar pen)dalam masyarakat kita sehingga kaum hawa yang kerap menjadi korban akan selalu sering mengalah, kemudian kekerasan lagi, kemudian mengalah, kemudian kekerasan lagi… terus berputar seolah tiada henti …dilakukan pihak suami.
Data kekerasan dalam rumah tangga yang dihimpun oleh lembaga swadaya masyarakat WCC (Woman Crisis Centre) di Jakarta pada tahun 1997 s/d 2002 sebanyak 879 kasus, pelakunya adalah suami yang mencapai 74 persen.
Rifka Annisa Yogyakarta pada tahun 1994 s/d 2000 tedapat 994 kasus KDRT(Kekerasan Dalam Rumah Tangga), pelakunya adalah suami terhadap istri. Sementara data terkini dari Menteri Pemberdayaan Perempuan mancatat bahwa kasus kekerasan yang ada dipedesaan dari jumlah 217 juta penduduk adalah 11 persen atau sekitar 24.000.000 wanita mengalami KDRT.
Adapun penyebab KDRT, Kholifah melanjutkan antara lain; pertama: budaya patriarki, yakni kebiasaan atau tradisi yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki dimaklumi dan dibenarkan mengatur, mengontrol, dan menguasai perempuan karena tradisi atau kebiasaan dimasyarakat yang menganggapnya benar. Kedua: Pemahaman terhadap ajaran agama yang terlalu dangkal. Dengan mengutip surat an-Nisa ayat 34, Kholifah menulis ,” Kebiasaan memukul laki-laki pada perempuan diperintahkan Allah swt, melalui wahyu-Nya: Jika istri salah dinasihati dulu, boleh memukul tapi jangan muka dan jangan menyakiti, dst (penulis melihat adanya kontradiksi antara pernyataan Kholifah, yakni poin pertama dengan poin kedua yang ia sertakan dalil pada surat an-Nisa ayat 34 ).
Berikut petikan lengkap surat an-Nisa ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(QS. an-Nisa: 34)
Kalau kita merujuk kepada firman Allah diatas jelas bahwa laki-laki adalah lebih tinggi daripada perempuan, dibenarkan memukul (kalimat memukul menggunakan fi’il amr) yang berarti sebuah perintah dengan maksud untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. Karena memukul adalah langkah terakhir setelah menasehati, dan pisah ranjang. Maka apabila langkah ketiga yakni tindakan memukul dengan maksud tidak menyakiti ini tidak mempan, tidak berarti apa-apa dan tidak membawa perubahan juga terhadap istri yang merupakan obyek masalah, atau dengan kata lain memukul tidak dibolehkan saja, itu berarti bahwa yang melakukan ketidak adilan akan semakin merajai sikapnya dan korban ketidak adailan tersebut tentunya adalah laki-laki atau suami. Ketiga: Trauma masa lalu yang terjadi dalam ruang lingkup keluarga sendiri yang gemar melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga, misalnya kebiasaan ayahnya yang suka memukul.
Adapun konsep dasar KDRT meliputi kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan, dll), kekerasan seksual (pemerkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, kehamilan paksa, perdagangan perempuan dan anak, aborsi, dll), kekerasan ekonomi (larangan bekerja, dan eksploitasi tenaganya). Sedangkan pelaku KDRT bisa siapa saja entah suami, istri, anak, dan anggota keluarga.

Wanita Berdasarkan Perspektif Al-Qur’an (Islam)
Al-Qur’an al-Karim secara komplit menjelaskan tentang keberadaan kaum wanita. Bahkan didalam al-Qur’an al-Karim, Allah swt. memberi nama salah satu surah dengan nama an-Nisa (wanita).
Surah an-Nisa banyak berbicara tentang wanita (Hawa), misalnya wanita sebagai mitra bagi laki-laki (Adam)[an-Nisa ayat 1 dan 19]. hak-hak anak yatim perempuan, kedudukan maskawin dan hak kepemilikannya (an-Nisa ayat 4, 19-21, 24-25, al-Ma’idah ayat 5, dan Yunus ayat 10-11), harta warisan menurut kadar dan ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya (an-Nisa ayat 7, kemudian sipertegas pada ayat 33 dan 176, al-Baqarah ayat 180, dan al-Fajr ayat 19), talaq beserta hak dan kewajiban yang harus ditunaikan(an-Nisa ayat 130, dan at-Talaq ayat 1), dan ciri-ciri wanita yang taat dan beriman kepada Allah sw.
Wanita adalah mitra bagi laki-laki, mitra bagi suaminya dalam hal tanggung jawab dan kewajiban dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Wanita bukanlah rival (saingan)bagi laki-laki ataupun suaminya, wanita dan laki-laki sama-sama saling melengkapi.
Pengakuan akan hak dan eksistensi antara laki-laki dan wanita sama-sama menempati posisi sebagai hamba. firman Allah;

…"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."(Ali-Imron,195)

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(Al-Baqarah,187)
Wanita dan kaum laki-laki memiliki hak yang sama berdasarkan besarnya kewajiban, dan beban taklif;

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Baqarah,228)

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(An-Nisa,19)
Wanita memiliki hak terhadap nafkah atas suaminya;

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”(Ath-thalaq,7)
Syaikh Imad Zaki al-Barudi (Tafsir Wanita, 2004), menjelaskan bahwa wanita dan laki-laki memiliki banyak persamaan, yakni;
Pertama; Kesamaan dalam asal penciptaan bahwa kaum wanita diciptakan dari diri kaum laki-laki (an-Nisa ayat 1, al-A’raf ayat 189, dan az-Zumar ayat 6). Maksud ayat-ayat diatas bahwa wanita tidaklah diciptakan dari bahan yang berbeda dengan laki-laki. Dia diciptakan darinya dan masing-masing terlahir dari apa yang Allah ciptakan, yaitu Adam dan Hawa.
Kedua; kesamaan dalam taklif dan ganjaran pahala (an-Nisa ayat 124, al-Imran ayat 195, at-Taubah ayat 72, an-Nahl ayat 97, an-Nur ayat 31, al-Ahzab ayat 35 & 36, Muhammad ayat 19, dan al-Fath ayat 5-6 ).
Ketiga; persamaan dalam hudud (ketentuan hukum) dan sanksi syari’at (al-Ma’idah ayat 38, dan an-Nur ayat 2, 4, dan 9). Persamaan dalam memiliki hak menggunakan harta miliknya apabila ia telah baligh yakni dalam menjual, hibah, wasiat, sewa menyewa, mewakilkan kepada orang lain , menggadaikan dan membeli. Bahkan seorang suami tidak boleh melakukan intervensi karena hak kepemimpinan yang dimiliki suami ialah yang bersifat individu (haqqun sakhsiyyun). Suami tidak boleh mengubah indentitas diri istrinya (al-Ahzab ayat 5). Islam sejak kemunculannya telah memberi kebebasan bagi wanita untuk mengelola harta kekayaanya sendiri (an-Nisa ayt 20-21).

III. KESIMPULAN
Sampailah kita pada kesimpulan dalam makalah yang ringkas ini. Ada beberapa poin penting yang menjadi catatan yang mestinya menjadi renungan bagi kita, bil-khusus para aktivis jender, dan kaum feminis;
• Islam adalah agama yang hanif, arif dan bijaksana. Seorang muslimah boleh mengenakan pakaian apapun yang disenangi dihadapan anggota keluarganya atau diantara teman-teman wanitanya. Namun apabila ia keluar rumah atau ada laki-laki lain dirumahnya, maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang menutupi seluruh anggota auratnya, dan tidak boleh memperlihatkan sosok tubuhnya.
Rasulullah saw, bersabda:
ا يما امراة نزعت ثيا بها في غيربيتها خرق الله عنها ستره (روه ا حمد وااطبرنى)
“ Siapa saja dari seorang perempuan yang melepaskan (membuka) pakaian selain dirumahnya (di luar rumah), maka Allah pasti merobek tirai kehormatan dari padanya.”(HR. Ahmad, Thabrani, dan Bazaar dari Aisyah Ra)
Dalam hadits lain Beliau juga bersabda:
المراة عورة, فاذا خرجت من بيتها استشر فها الشيطان (رواه الترمذى)
“ Perempuan itu adalah aurat, maka apabila ia keluar rumah, berdiri tegaklah (dirangsang) syetan padanya.”(HR. Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)
• Perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam islam, sama sekali tidak untuk mencederai, apalagi tidak memuliakan kaum hawa. Tapi sebaliknya, islam memuliakan mereka. Kita semua mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Kita punya kavling sendiri-sendiri, sehingga dengan itu islam memuliakan kedudukan wanita.
• Mesti diakui, sejak 1.400 tahun kejayaan dan keagungn islam, yang kita jumpai sekarang tidak semurni dimana Rasulullah saw, dan para sahabat. Yang berubah bukan tentang risalah yang Beliau bawa, akan tetapi lebih kepada yang mengajarkannya. Bukan tentang islam, tapi manusianya. Karena islam adalah agama pembebasan, termasuk bagi kaum hawa. Hal ini terbukti sejak diutusnya Rasulullah saw, Beliau sangat mensyukuri kelahiran putri Beliau, yang ketika itu lazim dibunuh oleh bapak-bapak mereka.
• Rasulullah saw, menyebut ibu..ibu..ibu, sebanyak tiga kali dibanding ayah. Rasulullah saw, menempatkan syurga dibawah telapak kaki ibu bukan ayah. Lantas apakah kaum wanita akan menukar kemuliaan yang dikaruniakan Allah? Apakah kaum hawa akan menyia-nyiakan kemuliaan dengan menjadi bagian dari diri mereka yang mencari-cari kesetaraan semu yang jauh dari hidayah?
Semoga kita tidak menjual hidayah Allah ini dengan harga yang teramat murah. Amiin…! Wallahu a’lam bis Showaab….

DAFTAR RUJUKAN

Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Persepektif, 2005, Cet. I
John. M Echol, And Hassan Shadily, An English - Indonesia Dictionary, New York: Cornell University Press, 1975 .
Dr. Nasiruddin Umar, MA, Argumen Kesetaraan Gender; Persepektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999,
Donna Pankhurst, dan Sanam Anderline, Pengarus Utamaan Gender Dalam Upaya Membangun Perdamaian: Kerangka Untuk Bertindak, Terjemah Faye Scharlet, Jakarta: Search For Common Ground In Indonesia, 2005, Cet I
DR.Yusuf Qardhawy, (Masyarakat Berbasis Syari’at Islam; Hukum, Perekonomian, Perempuan) Terjemah Abdussalam Masykur, 2003, Cet I
Ahmad Al-Hufy, Mengapa Rasulullah Berpoligami, Terjemah Abu Musyrifah, dan Ummu Afifah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001, Cet I
Adian Husaini, M.A, Hendak Kemana Islam Indonesia, Surabaya: Media Wacana, 2005, Cet. I
Kholifah, MA, “Sikap Islam Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Kordinat IX, No. 2, Oktober 2008
Ridwan, M.Ag, Kekerasan Berbasis Jender(Rekonstruksi Teologis, Yuridis, Dan Sosiologis), Purwokerto: STAIN Purwokerto, 2006
Syaikh Imad Zaki al-Barudi,Tafsir Wanita, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2004, Cet IV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar