Selasa, 25 Mei 2010

SYETAN ADALAH MUSUH YANG NYATA
Oleh : Adhy Margono

بسم الله الرحمن الرحيم
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا كان جنح الليل او امسيتم فكفوا صبيانكم فإن الشيطان تنتشر حينئذ فإذا ذهب ساعة من الليل فخلوهم واغلقوا الأبواب واذكروا اسم الله فإن الشيطان لايفتح بابا مغلقا وأوكو قربكم واذكروا اسم الله وخمروا آنيتكم واذكروا اسم الله ولو ان تعرضوا عليها شيئا واطفئوا مصابيحكم . (رواه البخارى ومسلم)

“Dari Jabir RA, dari Rosulullah saw, beliau bersabda : “Apabila malam telah menjelang – atau menjelang malam – maka tahanlah anak-anak kalian karena sesungguhnya pada saat itu syetan-syetan berkeliaran. Apabila telah berlalu waktu isya` maka lepaskanlah mereka. Tutuplah pintu-pintu kalian dan sebutlah nama Allah. Karena syaitan tidak akan membuka pintu yang tertutup. Ikatlah mulut wadah tempat air kalian dan sebutlah nama Allah. Tutuplah bejana kalian dan sebutlah nama Allah, meskipun engkau hanya meletakkan sesuatu padanya. Padamkanlah lampu kalian dan sebutlah nama Allah.”

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim, Kitab Al- Asyribah (36) Bab Istihbabu Takhmiril Ina’ wa Taghthiyatuhu wa Ikaaus Saqa’i wa Ighlaaqul Abwaabi wa Dzikru Ismillahi Ta’ala ‘Alaihi wa Ithfaaus Siroj wan Naari ‘Inda an –Naumi wa Kuffusy Shibyaani wal mawaasyi Ba’dal maghribi, No. 5250.
Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhori dalam kitab Shohih Bukhori, Kitab Al- Asyribah, Bab Taghthiyatul Ina’, No. 5623, juga dalam Kitab Bad’il Kholqi, Bab Shifatu Iblis wa Junudihi, No. 3280.

MAKNA HADITS SECARA UMUM

Secara global hadits ini menerangkan kepada kita bahwasannya ketika telah datang waktu malam, maka syetan-syetan itu berkeliaran atau menyebar. Dan dengan demikian, kita diperintahkan untuk menahan anak kita keluar rumah, dikhawtirkan atas anak-anak didatangi syetan pada saat itu, karena najis yang menjadi perlindungan syetan umumnya ada pada mereka, dan dzikir yang dapat membentengi diri dari syetan umumnya tidak diamalkan oleh anak-anak. Syetan ketika menyebar niscaya akan menempelkan atau menggantungkan dirinya pada apa saja yang dapat ia lakukan. Maka sebab itu dikhawatirkan atas anak-anak pada saat itu.
Kebiasaan syetan berpencar pada malam hari itu adalah karena gerakan mereka diwaktu malam hari lebih leluasa dibanding di siang harinya. Sebab gelapnya malam lebih mendukung kekuatan syetan daripada waktu-waktu lain. Demikian pula halnya semua warna hitam yang lebih ia sukai daripada warna lainnya. Oleh sebab itu disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzar;
فما يقطع الصلاة ؟ قال : الكلب الأسود شيطان
“Mengapa ia dapat memutuskan sholat? Beliau SAW menjawab, ‘anjing hitam adalah syetan’. (HR. Muslim)

Rasulullah SAW juga menyuruh kita mematikan lampu, menutup pintu, jendela, tempat- tempat penyimpanan air dan makanan dengan rapat sebelum tidur. Jika manusia tidur dan membaca do’a sebelumnya,setan menjauhinya. Allah menjaga orang yang sebelum tidur membaca do’a. Jika menusia tidur tanpa membaca do’a, setan mengikat kepalanya dengan tiga ikatan. Jika ia bangun dan mengingat Allah, terlepaslah satu ikatan, jika ia berwudhu terlepas lagi satu ikatan lainnya dan jika ia sholat terlepaslah ikatan yang terakhir.
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan beberapa hadits lain tentang sifat-sifat Iblis dan bala tentaranya, diantaranya adalah : 1) Hadits Abu Hurairah RA tentang ikatan syetan di atas kepala orang tidur. 2) hadits Ibnu Mas’ud tentang syetan yang mengencingi telinga orang yang hanya tidur dan tidak melaksanakan sholat. 3) Hadits Abu Hurairah RA tentang syetan yang dapat membisikkan sesuatu kepada manusia. 4) hadits Abu Hurairah RA, “Apabila seruan untuk sholat dikumandangkan, setan pergi menjauh”. 5) Hadits Abu Hurairah RA, “setiap anak keturunan Adam ditusuk oleh setan di sisi badannya dengan jarinya”. 6) Hadits Abu Qotadah, “Mimpi yang baik adalah dari Allah dan mimpi yang buruk adalah dari setan”.

ESENSI HADITS DITINJAU DARI SUDUT PANDANG DA'WAH

• Tipu Daya Syetan Dan Bala Tentaranya

Syetan La’natullah ‘Alaihi menggoda dan bekerja untuk menghalangi manusia dari jalan Allah dengan menggunakan berbagai cara. Jika dengan cara pertama gagal, maka dia akan menggunakan cara lainnya sehingga manusia sesat dari jalan tuhannya, supaya kelak menemaninya di neraka. Skenario pertama adalah kekafiran dan kemusyrikan. Yang kedua adalah bid’ah. Yang ketiga adalah kabaair (dosa0dosa besar). Keempat Shaghaair (dosa-dosa kecil). Kelima menyibukkan dengan perkara-perkara mubah. Keenam menyibukan manusia dengan mengedepankan amalan-amalan yang mafdhul (kurang utama) dan meninggalkan amalan-amalan Fadhiil (yang utama).
Jika berhasil dengan skenario yang pertama, maka dia dan bala tentaranya dapat beristirahat dari kesibukan menggoda dan menyesatkan sasarannya. Kesibukannya tinggak Ribath (menjaga pos-pos pertahanan) yang memungkinkan manusia tersebut lepas dari belenggunya. Dijaganya agar telinga tawanannya tidak mendengar informasi yang akan memeberinya jalan atau mendekatkannya kepada hidayah Allah, diawasi matanya agar tidak melihat dan membaca apa-apa yang memberi masukan pikirannya untuk berpikir, tentang tuhan yang mencipatakannya dan tentang agamanya serta seluruh amal baik yang diperintahkan Allah.
Kalau skenario pertama gagal, maka setan menggunakan cara kedua. Artinya, ketika itu seseorang tidak lagi dapat dihalangi dari jalan Allah, maka mereka akan berusaha keras untuk mengeluarkannya dari jalan tersebut dan berusaha menjadikan jalan Allah itu menjadi bengkok. Allah SWT berfirman :
“menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat." (Al-A’raf : 45)

Jika cara kedua gagal juga, maka setan dan tentaranya menggunakan cara ketiga, yaitu Al-Kabaair (dosa-dosa besar) seperti zina, korupsi atau mencuri, menyuap atau menyogok dan dosa-dosa besar yang lainnya. Yang menjadi sasaran untuk berbuat tersebut terutama orang-orang besar yang memiliki pengaruh di tengah umat, apakah itu ulama atau tokoh pemerintahan, atau para aktivis muslim yang komitmen pada islam. Hal ini dimaksudkan setan untuk merusak reputasi tokoh tersebut, sehingga hilang simpati kepadanya.
Kalau skenario Kabaair pun tidak mempan, itu indikasi bala tentara iblis dihadapkan pada pekerjaan yang berat dan melelahkan, menguras tenaga. Dosa besar tidak mau mengerjakan, maka setan berkonsentrasi untuk menjebaknya dengan dosa-dosa kecil (Shaghaair) yang pada umumnya manusia mengabaikan dan menganggapnya spele, padahal dosa-dosa kecil yang terus dilakukan dan tidak bertaubat, akan menghanguskan sedikit demi sedikit amal baik yang pernah dilakukan.
Pada tingkatan ini, setan sudah berada pada ambang kegagalan untuk menjerumuskan manusia dari jalan Allah, tetapi dia belum sama sekali putus asa, masih ada celah untuk sekurang kurangnya menghambat manusia dari mengumpulkan kebaikan sebanyak-banyaknya. Yaitu menyibukan mereka dengan perkara-perkara yang mubah. Setan masih punya harapan boleh jadi dari mubah ini bisa ditarik secara perlahan dan tidak disadari kepada yang makruh dan pada akhirnya kepada yang haram. Sekalipun tidak bisa, dia tetap akan menyibukannya dengan yang mubah sehingga waktunya menjadi kurang atau bahkan habis untuk sesuatu yang tidak membawa pahala dan kebaikan.
Jika gagal pula, maka tinggal satu cara, yaitu disibukkan dengan yang Mafdhul menomorduakan yang Fadhiil, mendahulukan perkara yang maslahatnya kurang utama, sehingga perkara yang maslahatnya utama terlepas dan terabaikan. Misalnya seorang dikaruniai harta banyak, tetapi harta yang banyak tersebut digunakan untuk berulang kali mengerjakan haji dan umroh. Dan setan menghiasi dengan kerinduan untuk selalu berkunjung ke baitullah. Harta yang sekiranya digunakan untuk memperhatikan anak-anak yatim, miskin, membiayai pendidikan anak-anak muslim yang tak mampu, membantu muslim yang berjuang di jalan Allah, membiayai kehidupan para Du’aat yang waktunya banyak tersita untuk menyeru manusia kembali ka jalan Allah, tentu maslahat yang ditimbulakannya lebih lus dan pahalanya lebih besar di sisi Allah.
Oleh karena itu, para du’aat dan para aktivis da’wah berkewajiban untuk selalu membentengi diri dan ummat dari gencarnya serangan dan tipu daya setan untuk menyesatkan dan menjerumuskan umat dengan berbagai skenarionya. Juga sudah merupakan ketetapan Allah, bahwa Allah menjadikan pada setiap pengikut jejak da’wah para nabi itu musuh-musuh dari golongan jin dan manusia yang selalu membisikan perkataan yang indah untuk menipu. sebagaimana Firman-Nya :
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al- An’am : 112)

• Syetan adalah musuh yang nyata

Orang yang merenungkan Al Qur’an dan As –Sunnah tentu akan mendapatkan bahwa penyebutan keduanya terhadap masalah syetan, tipu daya dan untuk memeranginya lebih banyak daripada penyebutannya kepada masalah nafsu Madzmumah (nafsu yang buruk dan jahat).
Ibnu Qoyyim Al –Jauziyyah menjelaskan bahwa masalah syetan, ia disebutkan dalam banyak tempat di dalam Al- Qur’an dan Sunnah. Peringatan tuhan kepada hamba-Nya dari godaan dan tipu daya setan lebih banyak dari pada peringatan-Nya dari nafsu, dan itulah kelaziman yang sebenarnya. Sebab kejahatan dan rusaknya nafsu adalah karena godaannya. Maka godaan syetan itulah yang menjadi poros dan sumber kejahatan atau ketaatannya.
Tiap- tiap Nabi juga para da’i akan menghadapi permusuhan dari syetan. Ada dua jenis syetan yang berkoalisi memusuhi para nabi dan para da’i, sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al- An’am : 112)

Jenis syetan yang pertama adalah musuh yang Hissy (dapat diindera). Sebagaimana firman Allah :
“Dan seperti itulah, Telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (Al- Furqon : 31)

Berperang menghadapi mereka perlu bekal kesemaptaan jasmani, ketrampilan tempur, kegesitan, daya tahan dan keberanian. Bekal-bekal yang disebut awal tadi menjadi persyaratan untuk masuk ke medan tempur. Adapun keberanian menjadi syarat mutlak agar bekal fisik yang sudah disiapkan sebelumnya ada artinya. Sebab jika sudah tidak ada keberanian, kejangkitan mental pecundang, maka kesempatan jasmani dan ketrampilan tempur tak dapat digunakan sama sekali, hilang begitu saja.
Adapun jenis syetan yang kedua adalah musuh yang Ghoir Hissy (tidak dapat diindera). Sebagaimana firman Allah :
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al –A’raf : 27)

Menghadapi musuh jenis ini, hanya dengan perlindungan Allah saja kita dapat selamat dari tipu dayanya. Mereka dapat mengintai, mengawasi gerak gerik kita. Kita hanya tahu dari rambu-rambu yang diberikan Allah dan rasul-Nya tentang keadaan mereka, apa yang menguatkan mereka dan melemahkannya, dari pintu mana mereka dapat menerobos dan menerabas pertahanan kita. Kalau bukan dengan pertolongan Allah mustahil kita dapat menghadapi tipu dayanya, apalagi mengalahkannya.
Abdullah Hazim berkata : “Bertempur menghadapi mereka, kuncinya adalah menelikungnya dengan mendekatkan dan mencari pertolongan kepada yang menguasai segala hal dari musuh yang tidak nampak tadi, yakni Allah, rabb yang mencipta, memiliki dan menguasai kita dan mereka. Hanya ini jaminan untuk mengalahkannya, tidak ada jalan lain.”
Adapun bentuknya berbagai macam, intinya adalah mengikhlaskan penghambaan hanya kepada Allah dan hanya mencari ridho-Nya. Bentuk yang terbesar adalah melazimi tauhid dengan meyakini dan mengikrarkannya. Juga beribadah kepada Allah dengan menempuh jalan ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan meninggalkan cara yang lain yang tidak dituntunkannya. Hatinya selalu ingat kepada Allah, diisi dengan perasaan Muroqobatullah baik dalam keadaan sendirian maupun berada di tengah manusia. Lisannya selalu basah menyebut-Nya dengan berbagai nama-Nya Al- Husna dan sifat-Nya Al-‘Ulya.
Ibnu Qoyyim berkata : “Al- Qur’an telah memberikan petunjuk untuk menolak kedua musuh ini (syetan golongan manusia dan jin) dengan cara yang paling mudah, yaitu dengan memohon perlindungan kepada Allah (isti’adzah) dan dengan berpaling dari orang- orang yang bodoh, serta dengan menolak kejahatan mereka dengan kebaikan.”
Jika hal itu dikerjakan terus menerus dengan mengharap ridho-Nya, memeinta pertolongan-Nya, mengikuti jejak nabi-Nya dalam setiap ayun langkah, insya Allah benteng pertahanaannya merupakan benteng yang kuat, tidak tertembus oleh musuh. Jika suatu ketika musuh dapat mendekat, dia mampu mengusirnya, sehingga terhindar dari kekalahan dan ketertawaan.

• Keluarga Sebagai Basis Da’wah (Tarbiyatul Usroh)

Rumah tempat tinggal adalah tempat penularan segala sifat yang datang dari luar. Sifat baik ataupun sifat buruk. Bila keluarga tersebut tidak bisa menyaring sifat jelek atau segera menetralisirnya kembali, maka sifat itu bisa menjadi sifat keluarga tersebut unutk selanjutnya. Di situlah perlu adanya aturan-aturan dan prinsip yang baik yang harus diterapkan dalam keluarga, sehingga dengan aturan dan prinsip tersebut, sifat –sifat yang merusak itu tak akan pernah lama bercokol dalam keluarga.
Dari sanalah perlunya tipe keluarga sakinah, keluarga yang akan melahirkan generasi yang baik dan akhirnya akan menciptakan masyarakat yang tenang dan damai. Karena kebahagiaan, ketenangan, kesengsaraan dan penderitaan dan masa depan anak-anak, banyak tergantung pada keadaan dan suasana keluarga.
Mohammad Natsir menyebutkan dalam Fiqhud Da’wahnya bahwa dalam rumah tangga yang diliputi oleh kasih sayang (sakinah, mawaddah dan rahmah) itulah tempat lahir dan berkembangnya anak –anak keturunan, pemuda dan pemudi, serta generasi yang sehat lahir batin yang akan menjadi ramuan bagi perubahan masyarakat dan ummat di masa mendatang.
Keluarga yang demikianlah yang dapat menjadi basis kekuatan da’wah bagi seorang da’i. Keluarga sakinah seorang da’i akan menjadi Lisanil hal atau contoh bagi ummatnya. Kekuatan kat-kata yang disampaikan dengan penuh semangat yang berapi-api, akan menjadi lebih kuat apabila di dalam keluarga da’i sendiri ditemukan apa yang disampaikan dan dianjurkannya kepada orang lain. Akan tetapi alangkah ironisnya apabila yang terjadi malah sebaliknya.
Dengan demikian, menurut Syaikh Musthafa Masyhur, hendaklah rumah tangga islami yang telah terbentuk menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya dalam seluruh aspek kehidupan, dari model pakaian yang islami, makan minum yang halal, akhlak yang mulia, sampai sikap yang islami dalam adat dan tradisi ketika senang dan susah. Mereka selalu menjauhi segala macam usur jahiliyah dan adat serta tradisi import yang jahili.
Maka mulailah pembinaan itu dari diri sendiri dan kemudian keluarga serta orang-orang terdekat, karena itu adalah satu bentuk peneladanan yang sangat efektif dalam pola da`wah. Curahkanlah perhatian untuk untuk membina keluarga, uruslah dan didiklah mereka itu dengan sebaik-baiknya. Allah SWT menjelaskan urutan prioritas tersebut dengan memulainya dengan diri da`i terlebih dahulu dan kemudian keluarga serta orang-orang terdekat. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (At-Tahrim : 6)
Ayat ini melukiskan bahwa diri dan keluarga adalah tanggung jawab utama bagi seorang dai dalam pembinaan ilmu pengetahuan dan akhlaknya sehingga menjadi dasar berpijak dan melangkah yang kuat dalam berda`wah.
Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Hafidhuddin, yang perlu disadari bersama terutama oleh seorang da’i adalah Rijalud Da`wah (generasi penerus da’wah) adalah merupakan anugrah dari Allah SWT kepada setiap keluarga yang selalu berusaha dan ikhtiar dengan penuh kesungguhan untuk meraihnya. Perhatian, bimbingan, dan pendidikan yang diberikan kedua orang tua sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kualitas Rijalud Da`wah tersebut.
Para juru da’wah selalu saja hanya memikirkan makanan, pakaian dan tempat tinggal untuk anak dan istri serta keluarga, tetapi juga hendaknya memikirkan bagaimana menyelamatkan mereka dari api neraka. Kerahkanlah tenaga semaksimal mungkin untuk membimbing mereka ke jalan kebenaran dan surga. Tetapi jika telah ditunaikan tugas tadi, namun mereka tetap membandel, maka dosanya bukan menjadi tanggunggjawab kita dan tidak lagi bertanggungjawab pada hari kiamat nanti.
Demikianlah kewajiban seluruh penyeru da’wah dalam bidang pembinaan keluarga, hendaknya setiap da’i selalu mendidik dan merawat rohani anak-anaknya, keluarganya dan memberikan ilmu pengetahuan. Walaupun kita melihat bahwa mereka tidak mau menerima nasihat, semua itu jangan mempengaruhi kita, mungkin saja mereka akan menerima nasihat dari orang selain kita.

DAFTAR PUSTAKA

o Muslim. Imam, Shohih Muslim, Riyadh : Darussalam,1419/1998, Cet. I
o Bukhori. Imam, Shohih Bukhori, Riyadh : Darussalam, 1418/1997, Cet. I
o Al-‘Asyqalani. Ibnu Hajar, Fathul Baari, Jakarta : Pustaka Azzam, 2006, Cet. I
o Syaikh Mushthafa Masyhur, Fiqhud Da’wah, Jakarta : Al- I`tishom, 2000, Jil. I
o Al- jauziyyah. Ibnu, Qayyim, Manajemen Qalbu; Melumpuhkan Senjata Syetan, Jakarta : Darul Falah, 2007, Cet. VII
o Al-Maududi. Abul A’la, Tadzkiroh Du’aat Al- Islam; Petunjuk Untuk Juru Da’wah, Bandung : Pustaka Al-Ma’arif, tth, Cet. I
o Hazim. Abdullah, Para Penggenggam Bara, Jakarta : Pustaka Ats- Tsabat, 1425/2005, Cet. I
o Syafri. Ulil Amri Dkk, Da`wah Mencermati Peluang Dan Problematikanya, Jakarta : STID Mohammad Natsir Press, 2007, Cet. I
o Natsir. Mohammad, Fiqhud Da’wah, Jakarta : Media Da’wah, 1408/1988, Cet. V
o Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Berkembang, Jakarta : Gema Insani Press, 2006, Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar